Membincang Pernikahan



Menikah adalah bagi mereka yang membutuhkan, lantas apakah saya merasa butuh?


Photo by Shelby Deeter via Unsplash

Memasuki usia 22 tahun, ada beberapa keresahan yang mulai mengusik diri dan pikiran saya. Salah satunya yakni perihal pernikahan. Benak saya mulai dipenuhi pertanyaan-pertanyaan semacam apa itu pernikahan? Relasi seksual dan psikologis seperti apa yang saya inginkan? Serta konsep pernikahan seperti apa yang nantinya akan saya jalani? Dan yang terpenting, percayakah saya dengan konsep pernikahan itu sendiri? 

Saya yakin, hal yang saya alami bukan merupakan wujud dari ke-over-thinking-an saya, namun hal tersebut murni merupakan fase hidup saya. Justru saya merasa beruntung bisa meneror diri saya sendiri dengan serentetan pertanyaan, kemudian membawanya ke ranah pemikiran yang lebih jernih dan matang.

Rentetan pertanyaan tersebut menggiring saya mengingat salah satu tulisan dari salah satu penulis yang saya kagumi, Ayu Utami. Dalam bukunya, Si Parasit Lajang, Ayu Utami secara lugas menuangkan berbagai pemikirannya tentang pernikahan dalam “10 + 1 alasan untuk Tidak Kawin”. Keengganan tersebut juga membawa saya mengingat salah satu statemen Simone de Beauvoir, dalam bukunya The Second Sex,  dia menyebutkan, “Cinta bagi laki-laki adalah penaklukkan, sementara bagi perempuan adalah devosi atau meleburkan diri, menyerahkan segalanya kepada objek yang dicintai,”.

Dari dua statemen di atas, tentulah keraguan saya semakin membengkak. Bukankah pernikahan adalah relasi heteroseksual antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan jika konsep cinta saja jauh berbeda, lantas bagaimana menyeimbangkannya?

Photo by Ben White via Unsplash

Satu lagi aspek yang membuat saya semakin risih dengan pernikahan. Yakni pernikahan sebagai tuntutan society. Apalagi, mengingat orang kita masih cukup sensitif dengan hal-hal yang berkaitan dengan relasi dan pembagian peran. Stigma masyarakat terhadap pernikahan pun mengalami penyempitan makna. Menikah untuk keturunan, menikah harus di usia sekian, menikah adalah kepatuhan, sekaligus menikah adalah sebagai kewajiban.

Sementara itu, bagaimana dengan yang psikisnya belum memadai, bagaimana dengan yang belum ‘selesai’ dengan dirinya sendiri, serta bagaimana dengan hal-hal lain yang patut dipertimbangkan? Toh dalam agama yang saya anut hukum pernikahan ada dan sangat dinamis. Pernikahan bisa jadi wajib, boleh, bahkan dilarang, sesuai dengan kesanggupan dan tujuan individu.


Setelah membawa rentetan pertanyaan di atas, ke dalam ranah pemikiran dan lamunan, banyak sekali paradoks yang saya temui. Namun dengan berbagai pertimbangan beberapa diantaranya bisa saya kutip dan jadikan pegangan.

Pada akhirnya pernikahan bagi saya bukanlah hal yang perlu diagung-agungkan, dianggap terlalu sakral, maupun wujud penyerahan secara absolut. Bagi saya, pernikahan adalah salah satu hal yang tidak begitu personal yang akan saya jalani. Tidak begitu personal karena pernikahanlah yang akhirnya akan membuat orang lain masuk ke berbagai sendi kehidupan saya dan mengobrak-abrik privasi saya satu persatu. Selain itu, bagi saya pernikahan adalah perihal penerimaan diri sendiri.  

Mengutip teori hierarchy of needs oleh Abraham Maslow, pernikahan berada pada urutan ketiga dari lima kebutuhan manusia, yakni ada pada tahap love and belonging. Sementara itu, yang saya maksud dengan ‘selesai dengan diri sendiri’ bukanlah ‘selesai’ dalam hal yang tidak terukur. Selesai yang saya maksud yakni ketika saya merasa cukup dengan kebutuhan fisiologis (fisik dan psikis) dan keamanan saya. Kemudian pada tahap itulah saya akan membutuhkan lets say “Love and Belonging” dalam bentuk yang lebih serius, alias pernikahan. Pada titik itu pula saya menerima orang lain dengan berbagai syarat dan pertimbangan, tentunya. 

Photo by Gift Habeshaw via Unsplash

Saya setuju dengan lagu milik Tulus, “Jangan cintai aku apa adanya.” Dan itu sangat berlaku bagi saya. (Nanti kita bahas cinta dan relasi di tulisan lainnya ya).

Kemudian konsep pernikahan seperti apa yang ingin saya jalani? Saya ingin pernikahan yang sebisa mungkin tanpa kenaifan. Pernikahan yang dijalani dengan kesadaran penuh – yang tidak hanya bersandar pada “nikah itu ibadah”, “nikah itu indah”, “nikah itu romantis”, “nikah sebagai tuntutan society”, dan bla bla bla lain yang amat memuakkan.

Saya ingin pernikahan yang sejak awal disadari sebagai usaha bersama untuk hidup dan berkembang bersama pula. Pernikahan sebagai perwujudan ranah fikir menjadi tingkah laku dengan berbagai pandangan dan pilihan tanpa paksaan.

At the end of the day, perihal pernikahan bisa jadi hal yang sangat krusial bagi masing individu, tak terkecuali saya. Sekarang, sila bawa rentetan pertanyaan di atas ke ranah pemikiran teman-teman masing-masing. Salam.

Komentar

  1. Great thought dims. Banyak yg belum cukup matang dan menganggap pernikahan sbg bagian ritual, kultur, dan legalitas untuk sex. Jadi nikah itu kayak sebuah siklus hidup gitu loh buat masyarakat kita. Mereka gak bener2 ngerti esensi dan reason why mereka harus menikah (dg org yg tepat dan di waktu yg tepat). Banyak org yg nikah tapi ujung2nya tersiksa dlm ikatan yg mereka bangun sendiri, lari dari tanggung jawab, berujung pada diforce, atau gak gtu ngerepotin org lain (pas udah rumah tangga punya anak tapi mentally blm siap). That's why aku paling sebel kalo habs idul fitri atau idul adha, duit THR mesti abis cuma buat bowo. Karena nikahnya musiman wkwkwkwk

    BalasHapus
  2. justru pernikahan itu untuk menyelesaikanmu dengan dirimu sendiri dims.. ada batasan tentang keter-personalan individu, sesuatu yg amat banyak dan tak bisa dirasakan olehmu sendiri.. ;)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer