Tan Malaka dan Karyanya yang Mendunia
Sutan Ibrahim, Ia
adalah putra pasangan HM Rasad dan Rangkayo Sinah. Dari garis keturunan ibunya
lah kemudian ia mendapatkan gelar Datuk Tan Malaka. Namanya memang tidak
terlalu banyak dijumpai di buku pelajaran sejarah. Namun di balik itu semua,
pria kelahiran Sumetera Barat ini adalah salah satu pejuang kemerdekaan
Indonesia, jauh sebelum hari kemerdekaan Indonesia 17 gustus 19945. Melalui Naar
de Republik Indonesia I ia sudah memikirkan cara terbentuknya Republik
Indonesia. Tepatnya pada tahun 1925. Tidak berlebihan, jika ia dijuluki sebagai
bapak republik.
Tan Malaka lahir pada
2 Juni 1897, ia adalah seorang Marxisme, pembela golongan kiri. Sedari kecil,
ia mempelajari berbagai cabang ilmu. Ia juga berasal dari keluarga yang agamis
dan dihormati. Pria kelahiran Nagari Padan Gandang ini juga menguasai beberapa
bahasa diantaranya; Bahasa Melayu, Belanda, dan Bahasa Inggris. Tan Malaka
memiliki akses pendidikan yang baik. Saat usianya menginjak sebelas tahun,
menempuh pendidikan di Kweekschool (sekolah guru negara) di Fort de
Kock. Pada Oktober 1913, ia merantau ke Belanda untuk menempuh pendidikan di Rijkskweekschool
(sekolah pendidikan guru pemerintah). Setelah itu ia bergabung dengan Sociaal
Democratische-Onderwijzers Vareeniging (SDOV) yang dalam bahasa Indonesia
berarti Asosiasi Demokratik Sosial Guru. Pasa November 1919, ia lulus dan
menyandang gelar hulpactie – jenis ijazah yang diterima, lebih rendah
dibandingkan hoofdacte.
Salah satu yang
mempengaruhi pola pikir seorang Tan Malaka yakni revolusi. Selama kuliah,
pengetahuannya tentang revolusi mulai muncul dan meningkat. Apalagi setelah ia
membaca buku de fransche revolutie. Bukan hal baru lagi bahwa Tan Malaka sejak
dulu tertarik dengan paham sosialisme dan komunisme. Buku-buku karya Karl Marx,
Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin yang latarbekangnya berpaham komunis telah
habis dibacanya. Tan Malaka adalah pengagum Jerman dan Amerika.
Tan Malaka menjadi
seorang sayap kiri bukan hanya karena buku bacaannya dan pengaruh revolusi yang
ia temui, tetapi karena ia juga sering bercengkrama secara langsung dengan kaum
buruh di desanya. Saat ia kembali ke Indonesia, ia menjadi guru bagi anak-anak
kaum buruh di perkebunan the di Sanembah, Deli, Sumatera Utara. Ia mengajar
anak-anak itu berbahasa melayu.
Tan pejuang
kemerdekaan melalui tulisan
Salah satu karya
terbesar sepanjang sejarah hidup Tan Malaka yakni Madilog. Madilog, kependekan
dari materialism, Dialektika, Logika. Dalam buku ini, ia membahas tentang pola
pikir yang dihubungkan dengan oilmu bukti serta dikembangkan dengan jalan dan
metode yang sesuai dengan akar kebudayaan Indonesia. Semua karya Tan Malaka
ditulis berdasarkan permasalahan yang ada di Indonesia kala itu. Karyanya
sendiri menyentuh berbagai sisi kehidupan Idonesia masa itu, meliputi ekonomi,
sosial, budaya, politik, sampai kebudayaan dan militer.
Tan malaka
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui tulisan. Kisah hidupnya cukup
panjang dan berliku. Hidup dalam pengejaran membuatnya selalu berpindah-pindah
dari satu negara ke negara lain. Sebsgisn hidupnys dihabisakan di luar negeri.
Berlangsung antara 1922 – 1942, hidupnya dihabiskan di berbagai negara. Namanya
banyak diincar di berbagai negara. Mulai dari Amsterdam dan Rotterdam, kemudian
Berlin, Moskow, sampai Kanton, Hongkong, Manila, Sanghai, Amoy, dan beberapa
daerah pedalam tiongkok. Kemudian ia menyelundup ke Rangoon, Singapura, Penang,
dan akhirnya kembali lagi ke Indonesia. Tak kurang dari 13 alamat rahasia dan 7
nama samaran yang ia gunakan ketika ia singgah di berbagai negara dalam
pelarian politiknya.
Di tengah pengejaran
dan hidupnya yang berpindah-pindah, Tan malaka masih tetap produktif menulis,
dan menyebarkan hasil tulisannya di berbagai negara. Banyak diantara karyanya
yang membahas tentang ketidaksetujuannya
terhadap kolonialisme dan imperialisme. Ia menginginkan negara-negara jajahan,
khususnya Indonesia dapat dengan segera merdeka. Ia ingin menyuarakan pandangan
hidupnya dan mencari dukungan untuk Indonesia melalui tulisan.
Ia bukan seorang
golongan kiri yang fundamental. Ia mendukung nasionalisme serta menggemari
tokoh revolusi Tiongkok, Dr Sun Yat Sen. Dr Sun memang bukanlah seorang marxis
seperti dirinya, namun ia mengagumi usahan Dr Sun dalam mencapai kemerdekaan
Tiongkok dari Kerajaan Manchu. Sebuah cita-cita yang sama seperti dirinya untuk
Indonesia.
Sampai saat ini,
tercatat puluhan hasil karyanya, mulai dari Parlelmen atau Soviet, Naar de
Republiek Indonesia, massa actie, Pari dan PKI, Manifesto Jakarta, Madilog,
Gerpolek, sampai Dari Pendjara ke Pendjara.
Tan Malaka menutup
usia pada 21 Februari 1949. Barulah pada 28 Maret 1963 melalui Keputusan
Presiden RI No. 53 yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno, ia ditetapkan
sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Komentar
Posting Komentar