Halloween, Mitos Hantu, dan Kontrol Sosial

Photo by Patrick Tomasso via Unsplash

Sebagai seseorang yang terlahir dan besar di Jawa, dari kecil saya akrab dengan hal-hal berbau mistis. Mulai dari mitos, legenda, atau cerita-cerita seram. Mereka rutin menjadi asupan saya sehari-hari.

Bisa jadi setiap hal aneh yang terjadi, masyarakat sekitar akan mengaitkannya dengan hal-hal ghaib yang tak mampu dicapai indra penglihatan. Ada juga yang mengaku memiliki kemampuan khusus sehingga hal yang tak kasat mata itu mampu dicapai oleh indera penglihatan atau pendengarannya.

Kemudian mereka akan bercerita panjang lebar kepada siapa saja tentang apa yang dilihat atau didengarnya. Atau cerita yang diceritakan ulang dari temannya. Atau cerita yang diceritakan berulang-ulang sampai tak jelas siapa periwayatnya.

Tidak di tempat kelahiran saya, Lamongan, di Lumajang saya juga menjumpai hal yang sama. Saat itu saya sedang melakukan pendakian ke Gunung Semeru. Gunung yang katanya merupakan puncak para dewa, gunung yang diagungkan oleh berbagai agama dan penganut kepercayaan.

Sampai di area kamp terakhir, Kali Mati, di sana ada salah satu sumber air yang disakralkan. Namanya sumber air Sumber Mani. Dari pos Kalimati, saya menempuh beberapa ratus meter untuk bisa mencapainya. Di sana saya menemui sumber air dengan aliran kecil yang merembes dari batu karst hitam menyerupai tebing.

Di bawah sumber air itu saya menemui beberapa bunga berbungkus daun pisang, lengkap dengan nasi dan beberapa lauk. Serta ada beberapa dupa yang telah padam. Itulah yang selama ini saya kenal sebagai sesajen.

Tak jauh dari tempat itu, saya juga menjumpai sesajen yang tergeletak rapi di bawah pohon besar.

Mereka (sumber air dan pohon) keramat. Mereka disakralkan. Katanya siapa saja yang merusak hal keramat itu, akan tertimpa marabahaya. Ketiban sial.

Belakangan aku menyadari, demi kepercayaannya secara tidak langsung mereka menjaga keselarasan alam dengan begitu khusyuk dan menghayati. Mereka bukan hanya tidak merusak, tapi juga menyertakan doa untuk keseimbangan dunia, tempat mereka tinggal.

Photo by Cashey Horner via Unsplash

Hal serupa ternyata saya temui di Buku karya Ayu Utami, Bilangan Fu. Di buku itu, penulis banyak membahas tentang panjat tebing, pemanjatan bersih, dan kearifan lokal yang kental akan mistisme. Ayu Utami juga menjelaskan bagaimana keselarasan alam tercipta melalui hal-hal mistis. Hal yang secara patuh diikuti masyarakat. Tanpa bukti namun berimbas sangat signifikan.

Ketika dalam sebuah kolam keramat terdapat ikan, ikan itu juga dikeramatkan. Berarti masyarakat secara norma dilarang mengambil ikan tersebut, apalagi merusak kolam. Kolam yang sejatinya menjadi sumber kehidupan masyarakat itu.

Semua orang patuh, takut ketiban sial. Dan tanpa sadar mereka menjaga alam paling khusyuk. Lebih dari siapapun.

Mereka tidak perlu hukum tertulis. Yang mereka lakukan adalah percaya. Mereka menjaga alam melalui mitos.

Dalam kasus ini, kepercayaan mereka-lah yang menjadi kontrol sosial dan berlaku untuk semua penghayatnya. Tanpa terkecuali. Dan itulah sistem sederhana yang dibangun beribu-ribu tahun lalu dengan tujuan apik, namun dengan cara yang klasik.

Photo by Rawpixel via Unsplash

Jadi, trik atau permen? Selamat Halloween dengan style hantu kearifan lokalmu.

Komentar

Postingan Populer