Hutan dan Kegelapan



Photo by Clément M. on Unsplash


Hari ini tahun baru. Usiaku baru 13 tahun, aku duduk sendirian melamun di depan teras rumahku. Maaf, maksudku rumah reot milik orangtuaku. Sembari melihat orang-orang  membawa cangkul, pergi ke sawah yang tandus sedangkan beberapa lagi yang lainnya pergi ke hutan, mencari kayu bakar, getah karet, atau apapun yang laku di pasar. Ya lainnya, berbondong-bondong pergi ke pasar. Ada yanga membawa sekeranjang manga hasil kebunya sendiri, ada yang membawa ayam yang ditaruhnya di keranjang khusus ayam, raut mukanya terlihat muram. Entahlah, rasanya aku sendiri tidak pantas memikirkan orang lain. Memikirkan hidupku saja cukup membingungkan.
Hari ini, hari ke dua tahun 1970. Aku berada jalan menuju ke hutan, mencari buah pala. Ini masih pagi buta. Gelap sekali. Jangan berfikir di sini ada listrik. Tidak. Listrik hanya ada di pusat pemerintahan. Jauh di sana. Aku tidak tahu. Di jalan saat aku hampir memasuki hutan, aku menemui ada seorang nenek-nenek rentan yang berjalan tergoppoh-gopoh.
“Kenapa nek?”                  
“Jangan, jangan kesana. Hutan ini akan ditebangi. Jangan keana. Pulanglah,” ujarnya terburu-buru.
Aku semakiin penasaran, apa yang sebenarnya terjadi. Hutan ini milik nenek moyang kami, sejak dulu. Rasanya tidak mungkin ada yang berani memangkas hutan ini sembarangan. Aku memutuskan untuk tetap masuk kedalam hutan, mencari buah pala, seperti yang kulakukan setiap hari. Matahari mulai mewarnai langit  barat kuning kemerahan. Aku terus berjalan memasuki hutan.
Di kejauhan aku dapat mendengar suara beberapa orang berteriak saling menyauti satu sama lain.
“Dimana?” dengarku
“Cepat nyalakan” sahut yang lainya.
Tiba-tiba aku mendengar suara yang menderu-deru. Bising. Aku semakiin penasaran, dan semakin berjalan mendekat. Suara bising tadi dapat ku dengar semakin keras. Tak setelah itu.
“Grubyuukk.” Ku lihat ada pohon yang tumbang. Pohon termbesi yang menjulang tinggi itu seketika ambruk. Menimpa semak-semak dan pohon-pohon kecil di bawahnya. Burung-burung ramai terbang menjauh enumbangkan pohon trembesi yang sekarang tergolek lemah tanpa nyawa itu? Jawabannya, ya.. Mungkin mereka juga kaget, sama sepertiku.
Aku berada di balik pohon. Kira-kira 5 meter dari pohon tumbang tadi. Cahaya kkuning semakin memancar, meskipun tak mampu menembus hutan. Di sana, dapat kulihat beberapa orang dengan satu mesin berdengung-dengung, berputar-putarmelingkar, deikelilingi pisau bergerigi yang tajam. Seketika bulu kudukku berdiri. Mesin macam apa itu? Apakah mesin dengan suara bising itu yang berhasil membuat pohon trembesi sekokoh itu tumbang seketika? Jawabanya adalah ia. Entah apa nama benda berdengung itu. Saat ini aku benar-benar mengutuk orang jahanam yang pernah membuat alat seperti itu. Di sebelah selatan orang-orang itu, terlihat ada beberapa gelontoran pohon-pohon besar.
Mesin itu masih berdengung-dengung di tangan seorang laki-laki bertubuh tinggi dan tambun. Sedangkan beberapa orang yang lain sibuk dengan tali temali yang mereka gunakan untuk mengikan pohon, dan sebagian lainya sibuk membersihkan dahan dan ranting pada pohon trembesi tadi. Aku semakin dibuat bingung dengan semua ini. Apakah mereka orang-orang utusan pemerintah, ataukah utusan para kaum borjuis berkantong tebal. Entahlah.
“Grubbyuukk..” sekali lagi kudapati sebuah pohon mahoni roboh di depanku. Tanpa ku sadari aku memekik keras. Beberapa tatapan mata langsung tertuju  padaku. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus ku lakukan. Tiba-tiba bayangan nenek renta yang tadi ku temui sebelum masuk hutan seketika muncul memenuhi pikiranku.
“Siapa kau?” ucap seseorang dengan kapak ditanganya mengacung padaku.
“Warga. Dia seorang warga.” Sahut yang lainnya.
Tanpa pikir panjang aku segera berbalik arah dan lari sekencang mungkin. Pikiranku kalut. Aku tidak tahu apa yang harus ku  lakkukan. Lari!, satu kata  itulah yang memenuhi pikiranku kemudian. Tidak ada mesin berdengung, tidak ada leleki yang mengacungkan kapak, tidak ada nenek-nenek renta yang tegopoh-gopoh. Hanya berlari. Lari keluar hutan.
“Sial!” umpatku dalam hati. Pagi semakin dekat menjemput. Cahaya kuning menjalaar ke seantero langit. Hari mulai terang. Sial, mereka dapat melihatku. Sialnya lagi, akku sendirian. Mereka berteriak sambil mengejarku. Berseru agar aku tidak lari. Sekilas aku menolehke belakang. Mereka masih mengejarku, lengkap dengan parang yang masih di genggamannya.
Aku masih tetap berlari, dengan napas terenga-engah. Mereka masih tetap mengejarku. Aku mulai bisa melihat jalan ke lluara hutan. Untunglah, sebentar lagi aku keluar dari hutan ini, aku bisa lolos dari orang-orang terkutuk ini. Lagian aku tidak tahu apa-apa, aku juga tidak salah apa-apa. Sekitar 10 meter lagi aku mencapai luar hutan. Adrenalinku semakin terpacu. 9 meter, 6 meter, 2 meter, akhirnya.
Sreeettt. Seseorang dibelakangku berhasil menarik kaos yang ku kenakan. Akku kehilangan keseimbangan, dan kemudian tersungkur ke samping.

Besok adalah hari ke tiga tahun 1970. Entahlah, apakah besok aku masih bisa melihat semburat kekuningan matahari terbit?. Besok adalah hari ke tiga tahun 1970. Entahlah, apakah hutan ini masih ada atau tinggalan dataran tanah. Besok adalah hari ke tiga tahun 1970. Aku adalah aku, bagian yang tidak pernah memilki arti bagi negeri ini. Besok adalah hari ke tiga tahun 1970. Entahlah.

Komentar

Postingan Populer