Akhir

Foto: Gabriel via Unsplash

Kamu pasti sudah tahu, bahwa aku seorang musicphile, seseorang yang kecanduan mendengarkan musik.

Tidak sengaja spotify membawaku mendengarkan lagu 'I Don't Care' milik Rendy Pandugo.

I dont even know what we're trying. I dont even care just to ask. Cause baby dont u know that we're dying.

Kemudian lagu itu membuatku mengingat satu bagian penuh pendewasaan di hidupku.

Aku mengingat sebuah malam yang cerah dengan angin dan embun, dengan beberapa kali orang yang lewat, dengan suara penjual tahu tek, dengan nyamuk-nyamuk, dan tangis itu.

Lagu itu lanjut bersenandung.

I'm sad, when its over. But i dont care when its over.

Harusnya memang sejak awal, hal itulah yang harusnya ku katakan. Harusnya dengan tegas ku katakan, "Pergilah! aku tidak peduli jika semuanya berakhir di sini. Sekarang," harusnya itu. Itu yang ku katakan.

Tapi nyatanya aku tak sekuat itu, aku tak setegas itu untuk sekedar membalik mendung gelap yang bergelayut menjadi senja kekuningan yang damai dan memendarkan warna merah yang tegas. Dari awal memang aku tak mampu.

Kemudian kalimat selanjutnya justru kau lontarkan ibarat pistol lengkap dengan timah panas dan duka di dalamnya.

"Kita akhiri saja. Aku kasian padamu jika menungguku. Aku memang terlalu lama dan tak pasti. Kita cukupkan saja. Ku mohon."

Isyarat memelasmu, merendahkan dirimu. Dan melepas genggamanku.

Kata 'pergilah!' tak sedikitpun menghampiri kepalaku, kala itu. Aku menatap bulan sabit di depan sana, angin semakin membuat mataku perih. Aku berharap turun hujan, agar aku tak lagi berada di luar dan bertemu angin yang membuat mataku perih. Juga bulan sabit yang saat itu terlihat anggun dan terluka. Aku tak ingin memandangnya.

Aku masih diam. Ku alihkan pandanganku pada matamu, kemudian ku menunduk.

Aku melihat kebencian di mata itu. Aku menunduk dalam.

"Harusnya bisa kita pertahankan, jika kita mau membicarakannya. Jika kita mau mempertahankannya," ucapku keras dengan suara terbata.

Sekarang berganti, aku berusaha tegas menatap ke depan, sedangkan kau menunduk terdiam. Kulit jari telunjukku semakin merah, mungkin sebentar lagi mengelupas. Dari tadi aku menggaruknya dengan kuku jempolku, meskipun tidak gatal sedikitpun. Aku tahu itu sakit, tapi aku tak bisa menghentikannya. Aku kalut.

Photo by Kristina Tripkovic via Unsplash


Tiga detik kemudian aku sadar. Aku sedang berdiri di tengah badai, dengan engkau melambaikan tangan di depan sana. Itu lambaian selamat tinggal. Dan I'm dying.

"Tidak perlu. Tidak perlu dilanjutkan. Kita sudahi, daripada semakin saling menyakiti." katamu.

Sedangkan aku tidak paham maksud katamu 'saling menyakiti'.

'Kita yang saling menyakiti atau kau yang sedemikian sakit, atau bukankah kau yang sengaja mengabaikanku dan itu menyakitiku?' batinku tidak terima, tapi lisanku terkunci.

Angin semakin membuat mataku perih. Dan bulan di sana masih berdiri dengan anggunnya. Dia (bulan) sengaja menemaniku. Dia enggan tertutup awan. Sedikitpun.

"Kita akhiri saja," lanjutmu.

Pertahanannku berakhir. Aku menangis dalam diam. Aku masih berada di dalam badai yang semakin mengamuk. Dan kamu tak lagi terlihat.

Baru saat itu aku mengerti bagaimana rasanya berdiri di sampingmu dengan perasaan yang teramat sendiri. Baru saja rumahku direnggut badai. Dan aku masih menangis di dalam badai itu. Sejak detik itu, aku paham apa itu sepi dan apa itu kesendirian.

Lagu berlanjut. I dont care. Harusnya kalimat itu yang ku katakan.

Selesai. Lagu berganti.

Komentar

  1. Akupun ikut kalut membacanya. Semoga Allah mengirimkan seseorang di waktu yang tepat!

    BalasHapus
  2. Ketika baca awalnya,spontan aku kebayang dikau yg tiada hari tanpa spotify ~wq.Good dims❤ I like.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer