Penunggu Ulung

Photo by Keij4 via Unsplash

Bukankah cuma penunggu sepertimu yang mampu menunggu selama dan setidak jelas ini. Apa lagi kata yang tepat untukmu selain 'penuggu ulung'.

"Demi apa kau menunggunya segila dan sesinting ini?" pikiranku membentak.

Ku usap embun pada cermin di depanku. Sekilas ku kembali menatap senyum itu di bayangan cerminku. Namun sesaat kemudian yang ku lihat hanya tatapan sayu bersumber dari kedua mataku. Aku tersenyum dan yang ku lemparkan justru hanya senyuman, tanpa nyawa. Senyum tanpa tahu apa yang harus ditinggikan, serta tawa yang tanpa tahu untuk menertawakan hal apa.

Kedua mata seorang penunggu ulung, sipit namun mengantung tak jelas.

Ku usapkan air dari telapak tangan ke mukaku.

Batinku masih bergulat dengan otakku. Pagi ini nalarku berhasil mengolok-olok mengoyak perasaanku yang bodoh dan tak berdaya. Dan itu terjadi setiap pagi selama 3 tahun ini, di tempat yang sama.

Mungkin bagi sebagian orang, 3 tahun menunggu adalah hal terlama serta memberatkan. Tapi tidak bagiku, penunggu ulung. Bagiku 3 tahun adalah ketika hari berganti hari terangkum menjadi minggu, yang di setiapnya di tempat yang sama bergulat dengan pikiran yang sama. Barangkali aku menikmatinya.

"Manusia macam apa yang mampu menikmati penantian? Kalau bukan seseorang yang hatinya telah patah dan patahannya pun telah hilang entah kemana," pikirku menyahuti sarkastik.

"Manusia macam apa lagi yang tanpa putus asa terkungkung di dalam cangkang nestapa, kalau bukan seorang penikmat penderitaan," tambahnya.

Kemudian, aku, sebagai aku, sebagai manusia yang hatinya patah, sebagai seorang penikmat nestapa, semakin menengadahkan kepalaku. Ku hembuskan napas berat. Kemudian menangkupkan kedua telapak tanganku pada hidung dan mulutku. Kembali ku hembuskan napas berat.

Perlahan suara timbul tenggelam kembali ku dengar dari piringan hitam yang ku putar tadi.

Photo by Jace Grandinetti via Unsplash

Dari kaset lama itu mengalun lagu lagu yang juga lama.

"When i was young, younger than before, i never saw the truth hanging from the door," Aku mengenalnya, Nick Drake dengan lagunya, Place to Be.

"And now i'm older, see it face to face. And now i'm, older gotta get up, clean the place,"

ketika aku muda, semuanya tak seabu-abu ini. Dulu semuanya tak semenggantung ini. Dan dulu tak seburam ini.

"And i was green, greener than the hill, where flowers grew and the sun shone still. Now i'm darker than the deepest sea. Just hand me down, give me place to be"

Aku mendengarkan lagu ini. Semakin lama semakin menghayati. Semakin lama semakin  mengalami. Dan semakin lama semakin mencuri kisah.

Nick Drake juga sedang menyindirku. Tentang aku yang tak lagi sama. Dan aku yang termakan harap. Berdebu menunggu waktu, dan aku yang tak lagi memperdulikan nalarku.

Dalam kasus ini aku menikmati menjadi seorang penunggu ulung. aku menikmati membawa kenanganku bermain-main. Mencongkel ulang kisah yang telah mati, berharap bisa meniupkan ruh ke dalamnya.

Bagi penunggu ulung sepertiku, tidak ada kata usai, yang ada hanya kata tunggu dan tanya. Semuanya berhenti di situ. Berputar arah, menunggu, bertanya, memulai penantian kembali. Kadang aku menyebutnya siklus, kadang juga menyebutnya sebagai nasib yang busuk.

"Aku tidak akan sembuh, Sayang. Sepertinya tidak akan bisa," ucapku, mencoba berdamai dengan pikiranku. Bukankah kata The Script, "Sometimes love is intoxicating? Memabukkan?".

Lagu terus bergulir, kali ini pelan-pelan mengalun Pink Moon di telingaku. Lagu dari penyanyi yang sama. Ternyata dari kaset yg sama,  Nick Drake lanjut mengolok-olokku. Sial!

Komentar

Postingan Populer